Air Nasib

'Eh, gimana kabarnya tentang air nasib lo?' tanya Zekri kepada Awan, teman dekatnya.

Awan memang seringkali menggantungkan nasibnya pada kran air. Unik memang. Jika ia memutar putaran kran air tanpa hambatan atau lancar, artinya ia akan mendapat keberuntungan. Begitu juga sebaliknya. Namun untuk memutarnya tidak dapat disengaja.

'Ya nggak gimana-gimana,' jawabnya singkat. 'Oh iya, tadi pagi gue muter kran mulus, tanpa hambatan.'

'Terus?' tanya Zekri penasaran.

'Jadi tadi di sekolah gue nemuin uang sepuluh ribu,' katanya sedikit sombong.

'Eh, mendingan lo kasih lagi uangnya ke yang punya. Emangnya lo nggak takut dosa?'

'Uang ini tuh udah jadi milik gue, mungkin bukan rezeki yang punya.' Awan memang sedikit keras kepala kalau dia sudah mendapatkan keberuntungannya.


Beberapa waktu yang lalu ia juga pernah menemukan uang dalam jumlah yang lebih besar. Lima puluh ribu rupiah. Ia menemukannya di depan gerbang sekolah sewaktu pulang sekolah. Kemudian ia langsung memberi tahu Zekri.

'Zek, tunggu!' kata Awan sambil berjongkok membetulkan tali sepatu, padahal ia sedang menginjak uang yang ia temukan. Kemudian Awan segera memasukkan uang itu ke sakunya dan berbisik pada Zekri, 'Eh gue nemu duit.'

'Berapa?'

'Tapi lo diem-diem aja.'

'Bener ya?'

'Iya deh.'

Awan pun memperlihatkan uang yang dia temukan kepada Zekri.

'Buseeet!' seru Zekri. 'Mending uang itu lo kasih ke sekolah, bilang kalo lo nemuin uang itu di depan gerbang.'

'Males!!!'

'Atau lo diamalin aja ke masjid.'

'Iya iya nanti gue amalin ke masjid.'

'Semuanya ya?'

'Enak aja.'

'Berarti sama aja lo makan uang haram.'

'Nggak juga kali. Lagian kan ini udah rezeki gue.'

Awan tetap keukeh menganggap uang yang ia temukan adalah rezekinya. Dasar kepala batu.


Ada satu kisah lagi dari Awan dengan air nasibnya itu. Ini dia.

Saat pagi hari sebelum berangkat ke sekolah, ia gagal tiga kali untuk memutar kran air secara lancar. Otomatis hari itu ia mendapat kesialan tiga kali juga.


Kesialan yang pertama, ia terlambat kes ekolah dan dihukum keliling lapangan basket 5 putaran.

'Aduh mati nih gue! Udah terlambat 10 menit nih gue. Bakal dihukum dah,' katanya takut.

Sesampainya di sekolah, ia tidak diizinkan masuk oleh satpam. 'Pak tolong bukain gerbangnya, saya kan mau sekolah.'

'Tidak bisa. Kalau kamu memang niat mau sekolah kenapa bisa terlambat?'

'Iya, Pak. Saya tadi bangunnya kesiangan.'

'Ya udah, tapi nanti di dalam harus siap dikasih hukuman.'

'Iya deh,' jawab Awan pasrah.


Setelah ia masuk, ia langsung ditegur oleh staf kesiswaan. Awan diberi hukuman untuk lari lapangan basket sebanyak 5 putaran. Awan pun segera melakukannya. Keringat mulai bercucuran dari dahi dan lehernya.

'Aduh, kran sialan,' dumelnya.


Kesialan yang kedua, nilai ulangan matematikanya seminggu yang lalu kebakaran alias jeblok alias buruk. Ia mendapat nilai 3,5.

'Anak-anak, hari ini ibu akan membagikan hasil ulangan kita minggu lalu. Yang nilainya di bawah 7, harus mengerjakan soal di buku cetak sebanyak 30 soal dan lusa harus sudah dikumpulkan,' seru Bu Tutik, guru matematikanya.


Salah seorang murid pun mulai membagikan hasilnya. Awan harap-harap cemas. Wajahnyanya terlihat gelisah. Tak henti-hentinya ia berdoa dan memohon agar ia melihat angka 10 di kertas ulangannya itu. Padahal bagaimanapun ulangan sudah dikoreksi dan masing-masing murid sudah mendapatkan hasilnya. Ada beberapa murid yang terlihat senang karena hasilnya memuaskan, ada pula yang terlihat sedih karena hasilnya buruk, dan ada juga yang justru bangga terhadap nilai buruknya dan diperlihatkan kepada teman-teman lainnya. Zekri, yang juga merupakan teman sebangku Awan, sudah mendapatkan hasilnya terlebih dahulu. Ia mendapat nilai 9.


Temannya yang membagikan hasil ulangan itu berjalan ke tempat duduk Awan dan meletakkan kertasnya secara terbalik sambil berkata, 'Rasain lo, emang enak! Makanya punya kepala jangan keras-keras kayak batu.' Temannya itu pun segera berjalan. Zekri yang berada di sebelah awan hanya tersenyum-senyum mendengar perkataan temannya tadi. Awan mulai membalik kertasnya dan melihat hasilnya. Ia sedikit terkaget melihat hasilnya dan wajahnya terlihat lemas seperti orang bodoh, padahal ia sudah hampir sering melihat nilai kebakaran di kertas ulangannya. Di kanan atas kertasnya tertulis angka 3,5 dengan tinta merah yang sengaja dibesar-besarkan oleh gurunya. Awan hanya bisa menghembuskan nafas pasrahnya.

Kesialannya yang ketiga, saat pulang sekolah ia tercebur dalam sungai dan basah kuyup.

Sewaktu ia sedang jalan pulang melewati pinggir sungai, tiba-tiba saja ia terpeleset dan tercebur ke dalam sungai itu. Ada beberapa anak sekolah lain yang tertawa melihatnya saat tercebur. Lagi-lagi Awan hanya bisa pasrah. 'Huh, sial, sial.'

Lengkap sudah kesialannya hari itu. Entak kenapa seringkali nasibnya ditentukan oleh kran air. Aneh memang, tapi itulah Awan, suatu keunikan tersendiri baginya yang tak bisa disengaja.